Daftar Isi [Tampilkan]



Saat itu aku sedang merapikan beberapa dokumen penting di lemari sudut kamarku. Tak sengaja, aku menemukan sebuah foto berukuran 5R di dalam file catatan kesehatanku. Bukan pemandangan indah yang pantas dipandang. Foto tersebut adalah gambar usus yang telah diambil dari bagian alat pencernaan dalam tubuhku. Tampak membusuk dan mengeluarkan cairan yang cukup menjijikkan.
Aku teringat kurang lebih enam tahun yang lalu, aku divonis menderita penyakit usus buntu. Saat itu aku tengah hamil muda. Usia kandunganku memasuki delapan minggu. Tak kusangka, vonis tersebut menyebabkanku harus menjalani operasi pada hari itu juga. Gejala penyakit yang kurang kurasakan selama

ini, membuatku sedikit shock dengan vonis tersebut.
Minggu siang itu, kuhabiskan sepiring nasi tortilla di sebuah restoran cepat saji di sebuah pusat perbelanjaan di Pondok Indah. Tiba di rumah, mendadak aku merasakan sakit yang luar biasa. Perutku terasa mual dan melilit, kepalaku pusing, dan tubuhku lunglai. Spontan aku muntah dan mengeluarkan seluruh nasi tortilla lezat yang telah kusantap ke dalam perutku.
“Mungkin kamu kekenyangan, Sayang,” ucap suamiku. Lalu ia membersihkan muntahanku. Tidak terlihat kesan jijik, biasa saja. Keringat dingin di wajahku pun tak luput dari perhatiannya. Ia mengambil handuk kecil di dalam lemari dan membasuh keningku.
Mungkin ini rasanya hamil muda,” pikirku. Aku tak bisa tidur. Ia pun turut menemaniku, memaksakan kedua matanya tak terpejam demi aku.
“Sabar, ya. Sepertinya calon bayi kita tak suka pedas,” tuturnya pelan sambil bergurau.
Keesokan harinya, kami pergi ke dokter kandungan langgananku. Suamiku memapahku menuju ruang tunggu. Aku menolak tawarannya menggunakan kursi roda karena aku merasa masih sanggup untuk berjalan kaki.
“Bu, kenapa tidak ke UGD saja kemarin? Ini usus buntu. Ibu harus dioperasi hari ini juga,” ucap sang dokter agak terkejut namun tetap berusaha menenangkan hatiku. Dokter lalu memberiku surat pengantar ke dokter spesialis penyakit dalam. Karena aku dalam keadaan hamil, sehingga operasi tersebut dipantau oleh tiga dokter spesialis sekaligus, yaitu dokter spesialis kandungan, penyakit dalam, dan anestesi. Saat aku sempat mengkhawatirkan biaya yang mahal, tapi kemudian suamiku hanya berujar,
“Nyawa kamu dan bayi kita jauh lebih mahal dan berharga ketimbang apapun di dunia ini.” Jawabannya tersebut sungguh membuatku tak sanggup menahan bendungan air mata ini. Berkat dukungannya tersebut, aku semakin mantap menuju ruang operasi
Setelah dua hari terbaring lemah di rumah sakit, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Aku cuti selama dua minggu dari pekerjaanku di kantor. Meskipun kami bisa mencari seorang pembantu rumah tangga atau meminta orang tua kami datang untuk merawatku di rumah, tetapi suamiku lebih memilih izin dari pekerjaannya selama beberapa hari untuk merawatku.  
“Sekarang, kamu bukan hanya memerlukan bantuan tenaga, tetapi juga memerlukan orang yang sangat mencintaimu ini berada di sisimu”, jelasnya saat aku memintanya untuk tetap bekerja.
Benar saja, karena dokter hanya menyarankanku makan bubur dan makanan lunak lainnya, dia tak segan membuatkanku bubur ayam dan membelikanku makanan-makanan lain yang mudah dicerna oleh tubuhku. Ia menyeka badanku, memapahku setiap langkah  menuju toilet saat aku ingin buang air kecil maupun buang air besar. Bahkan dia menemaniku di dalam toilet karena mengkhawatirkan aku terpeleset di sana. Dia juga menyiapkan segelas susu hangat rasa vanilla khusus ibu hamil, menyuapi, dan menyiapkan seluruh kebutuhanku. Tak sungkan pula ia mencuci piring, sendok, dan gelas bekasku. Ia juga mencuci, menjemur dan menyetrika pakaian-pakaianku.
Setelah aku kembali pulih dan dokter mengizinkanku makan makanan seperti biasa, ia membawakan surprise berupa makanan kesukaanku, yaitu capcay, sate ayam, seafood, martabak, dan bakso. Suatu hari, aku membuka tas keresek hitam yang masih menggantung di motornya. Oh, ternyata ada enam apel merah dan enam apel hijau kesukaanku.  Sungguh, suamiku bukan seseorang yang romantis. Namun aku tahu benar, cinta dan kasih sayangnyalah yang menjadi obat sakitku.  
  
Cover Buku Antologi Kado Untuk Pasutri: Obat Sakit


Sinopsis:
"The success of marriage comes not in finding the 'right' person, but in the ability of both partners to adjust to the real person they ineveitably realize they married" (John Fischer).
 
Kado Untuk Pasutri (Antologi): Obat Sakit, kisah inspiratif, Yogyakarta, Penerbit Pena Nusantara, Oktober 2012.


Judul: Kado untuk Pasutri
Penulis: Norma Juliandi, dkk
Editor: Norma Juliandi dan Berry Juliandi
Desain Sampul: Leo Sastra Candra Winata
Penerbit: Pena Nusantara
ISBN: 978-602-18878-0-6
Cetakan: pertama
Jumlah Halaman: x + 240 halaman



Mengisahkan 46 kisah nyata inspiratif tentang suka dan duka dalam pernikahan, buku ini sangat cocok dibaca oleh pasangan suami-istri, calon pengantin, ataupun pasangan yang telah berpisah.

Kisah-kisah dengan problematika umum dalam rumah tangga yang diangkat, sangat mewakili isi hati para pasutri di masyarakat. Tangis, tawa, haru, dan semangat mewarnai kisah-kisah perjuangan cinta mereka.


 Terima kasih teman-teman sudah mampir ke blog saya. Semoga kisah nyata saya ini dapat menginspirasi aamiin



 








10 comments:

  1. Obat sakit itu ternyata, tak hanya obat2an kimia dari sang dokter, tapi adalah perhatian dan kasih tulus pasangan kita ya, Mba. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali, mbak Alaika.... karena kesembuhan fisik mengikuti sehatnya hati kita hehe tks ya mbak.

      Delete
  2. Hahaha... Makanan kesukaannya banyak ya, rul. Biasanya orang nyebutnya 1 atau 2. Ini 6. Belum ditambah 2 jenis apel. Awalnya baca l.. Iiih.. Co cweet.. Tapi begitu baca bagian makanan kesukaan ketawa sendiri. Ada yg nyamain ternyata. ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha...mbak Ade pasti makin ngakak kalo tau aku makan apel tepat di depan kulkas dengan pintunya yang terbuka gitu. Lagi hamil tuh aneh ya, malam2 kok gerah dan kelaparan kayak ga dikasih makan hihihihi....tks ya mbak :D

      Delete
  3. Kyaaaa pengen beli bukunya deh, tfs Mba Nurul^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe kayaknya udah lama bgt ga ada lagi. Makasih mbak Sandra :)

      Delete
  4. Top deh Papanya Rafa - Fakhri. Moga langgeng2 terus ya sama Mba Nurul :D

    ReplyDelete
  5. Hemm so sweet, punya suami yg sabar dan sayang setulus hati sama istrinya ya. Kece penulisnya,supaya pasutri di luar sana banyak yg mengikuti dan bisa mnjaga hubungan dgn baik

    ReplyDelete
    Replies
    1. In sya Allah ya. Semua belajar dari yang salah hingga menuju hal yang baik dan benar :)

      Delete

Terima kasih atas kunjungan teman-teman :) Semoga betah membaca kisah seru dan penuh memori di blogku ini. Silakan tinggalkan pesan, kesan maupun saran. FYI, seluruh komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu. Oh ya, komentar dengan link hidup tidak akan aku munculkan.