Daftar Isi [Tampilkan]

Rumah petakan itu terletak di pinggir jalan raya yang biasa dilalui Kopaja 616 jurusan Cipedak-Blok M dan angkutan kota 128 jurusan Warung Silah-Depok. Sebuah tempat tinggal sewaan yang jauh dari kata ‘sederhana’. Tepat di depan pintu masuk, tertera tulisan di sebuah papan putih seperti ini,”Dewasa: Rp 50.000 Anak: Rp 30.000 (Di tempat). Dewasa: Rp 60.000 Anak: Rp 40.000 (Dipanggil ke rumah). No HP: 0818xxxxxxxx”. 

Ada sebuah kamar kecil berpintukan kain sprei yang kedua ujung helaiannya diikat dengan tali rafia lalu dikaitkan pada tancapan paku di tembok. Selain itu terlihat ranjang kayu seadanya dan selimut tipis bermotif garis-garis, memperlihatkan bahwa itu adalah kamar pijat/ urut. 
 
Begitu bertemu, sikapnya ramah, tutur katanya lembut dan pandai membawa diri. Di genggaman tangan kanannya ada botol kecil minyak kelapa, sedangkan tangan kiri memegang sapu tangan handuk. 

Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Mbak War. Demikian pula aku dan keluargaku yang  bertahun-tahun menjadi pelanggan setianya. Sebenarnya bukan aku yang suka dengan pelayanannya, melainkan ibu, bapak, dan kedua adikku. Selain memang tak suka dipijat, aku tak menyukai olesan minyak kelapa racikannya yang baunya khas itu. 

Dulu, aku yang sering mengantar jemput ibuku atau Mbak War pulang pergi. Sampai kini aku memiliki dua buah hati, suamiku turut menjadi pelanggan tetapnya. Beranjak remaja, anaknya lah yang berperan besar memapah dan merawatnya. Dialah Wartini, seorang tukang pijat tuna netra.

Ia berasal dari kota kecil di Magelang, Jawa tengah. Rumahnya tak jauh dari daerah wisata Candi Borobudur. Menurutnya, mungkin nasib yang membawanya ke Ibu Kota Jakarta yang nyatanya lebih kejam dari pada ibu tiri. Beruntung ia memiliki kemauan keras belajar dan kemampuan yang diasah sehingga berhasil mengantongi ijazah sebagai tukang pijat tuna netra. Satu-satunya jalan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk diri sendiri dan anak-anaknya.

Ia bercerita, sejak dilahirkan hingga duduk di kelas empat sekolah dasar, ia sempat menikmati keindahan alam beserta isinya. Menatap bintang dan bulan di langit kala malam telah tiba. Mengenal raga sendiri dan keluarganya. Namun apa daya, penyakit typus yang dideritanya saat itulah yang menyebabkan kebutaan. “Dulu ibu saya nggak saya ngerti saya sakit apa. Waktu itu sakit panas saja. Badan saya panas sekali rasanya,” tuturnya penuh lara. 

Oh, berjuta kemungkinan menari-nari di atas kepalaku. Mungkinkah orang ndeso di kampung terpencil takut terhadap dokter dan obat-obatan? Ataukah karena memang ketiadaan sarana dan prasarana medis di sana? Tak mengerti imunisasi atau vaksinasi atau Kartu Menuju Sehat (KMS) yang disosialisasikan para Kader Posyandu seperti sekarang?

Sepertinya kondisi masa lalu membuatnya sadar akan pentingnya arti kesehatan. Kedua permata hatinya tumbuh sehat dan pintar. Ia bukan ibu ndeso yang tak tahu apa-apa. Kini ia seorang ibu yang tahu dan mengerti pentingnya pemberian vaksinasi serta rajin membawa anak-anaknya ke Posyandu di lingkungan rumahnya untuk sekadar diperiksa dan diberikan vitamin A. Berusaha sekuat tenaga mencari nafkah demi masa depan dan menjadi tulang punggung sekaligus ayah bagi mereka. 

Lalu di manakah ayah anak-anak itu? Almarhum yang juga tuna netra itu sudah dipanggil Sang Pencipta sekitar tujuh tahun silam, akibat sakit yang dideritanya. Betapa cobaan tak pernah berhenti mendera. Walaupun ketakutan akan asa yang ada hampir pudar, namun kekuatan dan semangat hidup yang tinggi membuatnya tetap berusaha.

Putera sulungnya yang bernama Iyan sudah menapaki dunia kampus setelah lulus dari SMK Teladan dengan nilai yang memuaskan. Kini berada di semester dua Politeknik Grafika Universitas Indonesia jenjang Diploma Tiga. Berkat kepintaran dan ketekunan belajar serta dorongan dari sang bunda, ia mendapatkan beasiswa dari sekolah tersebut. 

Semua biaya dan buku pelajaran ditanggung bahkan setiap bulan, uang sebesar lima ratus ribu pun diberikan padanya sebagai ongkos bulanan. Betapa bangga dan bahagia hati sang bunda yang selalu berpetuah,”Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit, seperti yang dahulu Ibu pernah lihat, Nak”. Subhanallah!

Adapun Cahya, puterinya kini sudah duduk di bangku kelas satu sekolah dasar negeri tak jauh dari rumahnya. Sempat bersekolah di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang secara gratis diajari membaca dan menulis sebagai persiapan menuju sekolah dasar. 

Mbak War selalu menasehati Iyan dan Cahya agar tetap terus belajar, meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi hingga lulus. Dukungan dan doa tak henti-hentinya diberikan kepada Iyan, terlebih ketika saat baru naik ke kelas tiga sekolah menengah umum, sang anak bersikeras hendak melamar kerja di sebuah bengkel kendaraan beroda empat. 

Serasa tak ada asa melanjutkan kuliah bagai pungguk merindukan bulan. “Biar Emak saja yang mencari uang, Nduk. Kamu harus terus sekolah. Jangan khawatir, Emak masih sehat, Insya Allah masih kuat memijat,” ucap Mbak War kepada Iyan.

Beberapa waktu lalu aku mengalami kecelakaan motor. Tanpa banyak komentar, ibu dan adik perempuanku langsung menghubungi Mbak War melalui telepon genggamnya. Aku yang pada dasarnya tak suka diurut, akhirnya mengalah juga. Manjur benar pijatan tangannya. Tak lama setelah itu, badanku terasa lebih baik, tidak pegal-pegal lagi seperti sebelumnya. 

Sambil memijat, ia sempat bercerita,”Mbak Fitri, bulan lalu emas saya dicuri orang”. Astaghfirullah, bagaimana mungkin ada orang yang tega berbuat demikian padanya, kataku dalam hati. “Itu bukan milik saya semua. Sebagian milik adik dan saudara yang menitipkannya pada saya. Apalagi ada juga perhiasan peninggalan dari orangtua. Kalau dihitung, semua kira-kira sepuluh juta,” ujarnya miris.

Kasihan sekali dia. Mengapa masih ada manusia jahat yang merugikan orang yang berkekurangan? Orang yang bekerja keras sejak pagi buta hingga malam hari. Orang yang menawarkan jasa pijat/urutnya hanya untuk sesuap nasi dan menghidupi darah dagingnya? Sungguh tidak berperikemanusiaan.

Allah tidak buta. Ia menurunkan rezeki yang halal dan berlimpah kepada umatnya yang mau berusaha dan berdoa. Ia berikan kesehatan yang yang terkira padanya, jarang terkena penyakit. Ia juga memberikan kemampuan memijat yang baik sehingga jasanya masih terus diminati oleh siapapun yang membutuhkannya. 

Mbak War memang tak mampu melihat, membaca dan menikmati keindahan surga dunia yang hanya sementara ini. Ia tak kan pernah bisa menyaksikan kedua buah hatinya tumbuh kembang dan bagaimana rupa mereka. Namun ia dapat merasakan kesuksesan membesarkan mereka hingga menjadi manusia mandiri kelak. 

Satu hal yang pasti, ia bisa berbuat dari hati nurani, karena ia adalah Kartini sejati. Perempuan masa kini yang patut diacungi jempol. Sebuah potret kehidupan perempuan yang kurang sempurna secara fisik namun pekerja keras yang gigih berjuang demi masa depan yang lebih cerah seperti mentari yang selalu bersinar terang.

Buku 101 Perempuan Berkisah: Mata Hati Wartini

101 Perempuan Berkisah (Antologi): Mata Hati Wartini, kisah inspiratif, Jakarta, Penerbit Prameswari, November 2013.
 
Teman-teman, terima kasih sudah mampir dan baca-baca tulisan saya. Wassalam.